Beranda | Artikel
KEUTAMAAN TAUHID
Sabtu, 8 November 2008

bnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah (penulis Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah) mengatakan,
“Ketahuilah. Tauhid merupakan seruan pertama dakwah para rasul. Ia adalah fase perjalanan pertama dan maqam awal yang harus dipijak oleh seorang yang menempuh jalan menuju Allah ‘azza wa jalla. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia menyerukan ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang hak) bagi kalian selain Dia’”(QS. Al-A’raaf [7] : 59). Huud ‘alaihis salam mengatakan kepada kaumnya, “Sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang hak) bagi kalian selain Dia.” (QS. al-A’raaf [7] : 65). Shalih ‘alaihis salam mengatakan kepada kaumnya, “Sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang hak) bagi kalian selain Dia” (QS. al-A’raaf [7] : 73). Allah ta’ala juga berfirman, “Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau melainkan Kami telah wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak kecuali Aku. Maka sembahlah Aku saja” (QS. al-Anbiyaa’ [21] : 25). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itulah maka sesungguhnya pendapat yang benar ialah yang menyatakan bahwa kewajiban pertama yang ditanggung oleh setiap hamba adalah bersaksi la ilaha illallah, sehingga tauhid itulah kewajiban yang pertama. Bahkan dia juga menjadi kewajiban terakhir. Hal ini sebagaimana tercantum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang perkataan terakhirnya laa ilaaha illallah pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim, dia mensahihkannya dan adz-Dzahabi menyetujuinya)
(lihat al-Minhah al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh ath-Thahawiyah, hal. 35)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya; sesungguhnya hakekat Al Hanifiyah yaitu agama yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah dengan ikhlas dalam melakukan ketaatan (tidak berbuat syirik, pent). Dan dengan hal itulah Allah memerintahkan seluruh manusia dan untuk itulah Allah menciptakan mereka semua…” (Majmu’ah Tauhid, hal. 19).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, ”Tauhid merupakan perkara paling agung yang diperintahkan Allah disebabkan ia menjadi pondasi seluruh ajaran agama. Oleh karena itu dengan tauhid lah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya mengajak kepada agama Allah, demikian juga beliau memerintahkan utusan dakwahnya supaya memulai dakwah dengan perkara ini.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 41).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Mu’adz bin Jabal tatkala hendak diutus berdakwah ke negeri Yaman, “Hendaklah perkara pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat laa ilaaha illallah” dalam riwayat lain, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam riwayat Muslim dengan lafazh, “Hendaknya perkara paling pertama yang harus engkau sampaikan kepada mereka adalah ibadah kepada Allah.”

al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah di sini adalah bertauhid (Fath al-Bari, 20/440. asy-Syamilah).

Tauhid, Intisari ajaran Islam
Syaikhul Islam mengatakan, “Dan telah diketahui dengan pasti suatu prinsip yang termasuk ajaran agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga disepakati oleh seluruh umat yaitu : pokok ajaran Islam dan perintah pertama yang diberikan kepada manusia ialah syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah. Dengan itulah seorang kafir berubah menjadi muslim, musuh menjadi teman, yang semula darah dan hartanya boleh diambil berubah menjadi terpelihara darah dan hartanya…” (Dikutip dari Fath al-Majid, hal. 81)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Simpul ajaran agama (Islam) ada pada dua prinsip : [1] Kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, [2] Dan kita tidak menyembah-Nya kecuali dengan syari’at-Nya, bukan dengan kebid’ahan. Hal ini sebagaimana terkandung dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatupun (berbuat syirik) dalam beribadat kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi [18] : 110). Itulah perwujudan dua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaaha illallaah dan syahadat anna Muhammadar Rasulullaah. Pada (syahadat) yang pertama terkandung prinsip ; kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Sedangkan pada (syahadat) yang kedua terkandung prinsip bahwa Muhammad lah utusan-Nya yang menyampaikan wahyu dari-Nya. Oleh sebab itu kita wajib membenarkan beritanya dan mentaati perintahnya…” (al-‘Ubudiyah, hal. 137)

Tauhid, fikih yang paling agung
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa pengertian fikih dalam syari’at adalah mengetahui hukum-hukum Allah yang berupa akidah ataupun amalan. Maka dalam pengertian syari’at fikih tidaklah hanya terbatas pada urusan amal perbuatan orang yang dibebani syari’at atau hukum amaliyah semata. Akan tetapi, fikih itu juga mencakup hukum-hukum akidah. Bahkan sebagian ulama mengatakan : sesungguhnya ilmu akidah itulah fikih yang terbesar (al-Fiqh al-Akbar). Ini adalah pernyataan yang benar. Sebab anda tidak mungkin bisa beribadah dengan benar kepada al ma’bud (Allah) kecuali setelah mengetahui keesaan-Nya dalam hal rububiyah-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan uluhiyah-Nya. Kalau tidak demikian, maka bagaimana mungkin anda beribadah kepada sesuatu yang tidak dimengerti ? Oleh sebab itu asas yang pertama adalah tauhid, dan memang pantas ia disebut sebagai fikih yang terbesar (Syarh al-Mumti’, I/10-11)


Artikel asli: http://abumushlih.com/keutamaan-tauhid.html/